Surat
Hampir tiap pagi pintu flat kami berbunyi. Bukan ketukan tamu tapi bunyi kotak kecil segiempat untuk memasukkan surat dari pak pos. Yah, amplop-amplop surat sepertinya mengalir teratur mengetuk tiap pintu rumah di negara ini. Kadang internet bill, electricity atau laporan keuangan per bulan tabungan pribadi dari bank. Tidak sedikit juga iklan poster atau selebaran. Bahkan cek untuk tax claim pun dikirim langsung ke rumah. Hingga kartu ucapan dan undangan neighborhood party.Saya bisa membayangkan bagaimana sibuknya Royal Mail, kantor pos negara Inggris, mengatur seluruh keluar masuknya surat setiap hari. Perusahaan ini pasti membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mensortir amplop-amplop. Belum lagi pengambilan surat-surat yang berada di kotak-kotak surat warna merah yang pasti selalu hadir di tiap titik keramaian. Entah di sepanjang jalan pusat pertokoan, kampus, sekolah, perkantoran hingga tempat pemberhentian bis. Sepertinya kotak-kotak surat iti bersaing dengan tempat sampah, mungkin jumlahnya hampir sama. Plus tertera pengumuman kecil di depan kotak surat bahwa setiap senin sampai jum’at, surat-surat akan dijemput saat jam setengah enam sore sedangkan hari sabtu, minggu dan bank holiday dijemput setiap jam satu siang. Begitu jelas dan terjadwal.
Saya kadang heran melihat budaya pengiriman surat yang tidak pernah surut di negara ini. Meski telah tersedia internet berbiaya murah dan kecepatan wah, mobile phone dengan unlimited text, free call untuk telpon rumah di seluruh UK. Fasilitas lengkap dengan kecanggihan teknologi yang mudah didapatkan ternyata tidak membuat mereka lupa dengan kertas dan amplop. Mereka bisa saja menggunakan email untuk berkirim surat tanpa harus lelah menuliskan di kertas dan ke kotak pos. Atau bisa saja memberikan ucapan selamat via sms atau telpon. Toh, itu semua gratis.
Suatu kali guru bahasa Inggrisku, Mike Loughin, memeriksa tugas. Sebelumnya dia memberikan waktu untuk menyelesaikan tugas selama seminggu dan akhirnya saya mengirimkan via email. Tak disangka saat kelas berikutnya dia telah memberikan hasil koreksian tugasku sebanyak empat lembar. Dan semunya memakai tulisan tangan Mike. Saya lalu memberitahunya bahwa jika dia menginginkan tugas itu ditulis tangan maka saya akan menulisnya karena saya merasa bersalah telah membuatnya menulis ulang tugasku plus koreksinya sebanyak empat lembar HVS Folio bergaris. At least, he could use a printer mechine. Dia lalu mengatakan bahwa saya tidak perlu sungkan karena memang dia berinistiaf untuk menulisnya kembali. Dan itu adalah kebiasaan yang tidak bisa dihilangkan. Mike senang menulis secara manual, memakai pulpen dan kertas bergaris. Bahkan dia mengaku jika ingin melakukan komplain ke supermarket, di Inggris public space untuk mengeluarkan pendapat terbuka lebar, atau hanya bertanya kabar ke temannya di Spanyol maka dia akan bersurat memakai tulisan tangannya.
Mike adalah salah satu contoh pribadi orang Inggris secara umum yang tidak terpengaruh dengan teknologi yang tidak memasyarakatkan manusia. Teknologi bisa saja datang dengan level yang berbeda tiap waktu tapi belum tentu bisa memudarkan kretivitas manusia, melunturkan budaya dan menghabisi kharakteristik manusia itu sendiri. Sangat disayangkan memang, melihat inovasi teknologi yang memanjakan manusia. Terakhir saya mendengar bahwa telah banyak hot spot di Indonesia yang bisa didapatkan secara gratis, penyedia layanan telpon selular berlomba-lomba banting harga pulsa, CDMA murah plus handphone-nya juga menyerbu tiap daerah. Terakhir, beberapa teman bahkan sempat chatting via YM hanya dengan sms. Wow, sungguh luar biasa laju teknologi informasi lima tahun belakang ini. Mungkin banyak yang tidak sadar tapi saya kira lebih banyak yang merasa senang.
Labels: thought
Sampai sekarang kadang-kadang saya masih suka nulis surat manual pit! He2..